Sabtu, 13 Agustus 2016

Cerita Sex_Ketidaksengajaan yang Berbuah Kenikmatan

Ketidaksengajaan yang Berbuah Kenikmatan

Hari ini adalah hari pertamaku tinggal kembali di rumah kedua orangtuaku setelah memutuskan untuk bercerai dengan mantan suamiku setahun yang lalu. Namun, hari yang seharusnya menjadi waktu untuk menenangkan diri dari segala masalah yang akhir-akhir ini aku hadapi, menjadi hari yang tak terduga.


Oh ya, perkenalkan namaku Asih, umurku 32 tahun. Aku memiliki tinggi tubuh 165 cm, dengan kulit kuning langsat, payudara yang indah dan berukuran cukup besar. Orang bilang aku termasuk wanita yang beruntung, karena memiliki wajah yang cantik, dan tubuh yang masih aduhai seksi di usiaku saat ini. Dari pernikahanku terdahulu, aku belum dikaruniai anak.

Saat ini aku sedang pindahan ke rumah orangtuaku di suatu daerah sejuk di Kota B. Hari sudah beranjak sore ketika aku selesai merapikan barang-barang bawaanku. Kebetulan orangtuaku sedang pergi menghadiri resepsi pernikahan salah satu keluarga di luar kota dengan ditemani sopir pribadi keluarga. Jadi mungkin mereka akan menginap barang semalam di sana.
Kini aku hanya ditemani dengan tukang kebun dan pembantu saja. Pembantuku namanya Bik Inah, orangnya ramah dan sudah berumur, mungkin sudah menginjak 60 tahun. Meskipun beliau bekerja di rumah orangtuaku, tapi beliau setiap menjelang malam selalu pulang ke rumahnya yang terletak tak jauh dari rumah orangtuaku ini.

Tinggalah kini aku hanya bersama dengan tukang kebun keluarga kami, namanya Pak Mahfud. Orangnya sudah cukup berumur juga, mungkin sekitar 50 an umurnya. Beliau dulu bekerja sebagai buruh tani ketika keluargaku masih memiliki sawah,  ketika sawahnya dijual akhirnya beliau sekarang dipekerjakan sebagai tukang kebun. Beliau duda sudah 5 tahun, istrinya meninggal karena sakit, sedang kedua anaknya telah memiliki keluarga sendiri di suatu provinsi. Walaupun umurnya yang sudah lumayan sepuh, wajah beliau masih kelihatan segar, menampakkan sisa-sisa ketampanannya. Rambutnya cepak, dan sudah beruban di sana-sini. Kumisnya yang tebal menambah tegas aura kebapak-bapakannya, juga sudah banyak di selipi uban. Tubuhnya masih sangat bagus, mungkin berkat kerja keras sebagai petani dulu. Kulitnya sawo matang, dengan perut yang masih bagus, dan dada yang masih kekar dan kokoh serta ditumbuhi bulu lebat yang berbaris hingga selangkangannya. Kadang aku juga sering membayangkan hal-hal jorok ketika melihat beliau bekerja sambil telanjang dada. Tubuhnya yang bagus membuatku berdesir membayangkan bersetubuh dengannya, apalagi pentungan sakti yang tersembunyi di celananya yang selalu membuat penasaran.
Saat itu kira-kira jam 8 malam, tiba-tiba listrik mati. Akupun kaget dan ketakutan karena sedang menonton film horor di ruang tamu.

Aku panggili Pak Mahfud,
“Pak, Pak Mahfud, Bapak dimana? tolonggg bawakaan lampu senterrr!” Teriakku dengan sedikit panik.
Beliau tidak segera menjawab, akhirnya aku beranikan diri melangkah ke belakang, ke kamar beliau dengan bermodal nyala dari layar HP. Aku sangat terkejut melihat kejadian di depanku. Pak Mahfud kelihatan tidak sadarkan diri dengan tangan dan pinggang yang terikat dengan tali. Akupun segera mendekati beliau, sambil terus bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi.

“Pak, pak, bangun pak,” aku goncang-goncang tubuhnya dengan panik.
Tiba-tiba dari belakang ada bayangan dan langsung memukulku dengan keras dibagian tengkuk, akupun tidak ingat apa-apa setelah itu. Beberapa jam kemudian setelah aku bangun aku baru sadar bahwa yang memukul dan membuat aku dan tukang kebunku tak sadarkan diri adalah perampok. Kutaksir mungkin berjumlah dua orang, dari pembicaraan yang masih sempat kudengar setelah mereka memukulku. Mereka sengaja mematikan lampu untuk memuluskan aksinya. Akupun berharap mereka sudah pergi sekarang, karena situasinya kurasakan sangat sepi, dan lampunya telah kembali dinyalakan.

Arrrghh, sial aku mendapati tubuhku sekarang terikat berhadapan dengan Pak Mahfud. Kami terikat dengan seutas tali dan tangan belakang kamipun terikat. Bukan itu saja, para perampok itu rupanya mengikat tubuh Pak Mahfud ke salah satu tiang rumah. Jadilah kami sekarang terikat dengan tubuh berdiri, tak bisa berpindah kemanapun, meskipun kaki kami cukup bebas karena tidak terikat.

Aku segera membangunkan Pak Mahfud yang masih tidak sadarkan diri. Sekilas aku merasakan geli di bagian payudaraku yang malam itu hanya mengenakan daster tipis, tanpa memakai BH. Ternyata benar, kegelian itu disebabkan oleh bulu-bulu dada Pak Mahfud yang membelukar tanpa tertutupi. Rupanya beliau saat itu sedang telanjang dada, dan hanya mengenakan celana kolor.

Aduh, aku jadi serba salah, pikirku. Mau aku bangunkan tapi inilah saat yang langka pikirku. Namun, pikiran jernihku masih bekerja. Akhirnya aku membangunkan beliau. Namun usahaku dengan memanggil manggil namanya tak berhasil, dengan mengguncang-guncang tubuhkupun tak membuahkan hasil.

Akhirnya aku putuskan cara yang sedikit berbeda. Aku putuskan untuk sedikit memukul-mukulkan lututku agar mengenai benda yang berada di selangkangan beliau. Cara ini akhirnya berhasil, akhirnya beliau lambat laun sadar. Mungkin karena rasa nyeri di selangkangannya karena ku permainkan dengan lututku tadi.

“Haah, mbak asih kenapa kita terikat begini, apa yang terjadi..?” tanyanya dengan raut kebingungan. Akhirnya aku jelaskan semuanya kepada beliau.
“Jadi Pak, apa yang harus kita lakukan sekarang? Mau ambil pisau untuk memotong tapi tidak bisa, tangan terikat, kita pun tidak bisa berpindah tempat..” Ucapku dengan setengah bingung.
“Anu mbak Asih, begini saja, Bapak punya ide..” Sambil matanya terus memandangiku dengan tatapan berbinar.
“Wah, bagus, apa pak?, cepat pak, yang penting kita bisa lepas dari tali ini”, Balasku dengan sedikit tergesa.
“Begini mbak, tali yang mengikat pinggang kita ini kan cuma satu tali, artinya tidak diikatkan kemana-mana selain pinggang kita berdua..” aku mengangguk pelan.
Beliau meneruskan, “jadi dengan sifat tali pramuka yang elastis ini kita bisa melepaskan ikatannya...” “Caranya bagaimana Pak?” Sambungku dengan cepat.
“Begini, caranya adalah dengan menggerak-gerakkan tubuh kita, agar ikatannya bisa sedikit longgar, dan talinya nanti lolos melewati pinggul, akhirnya bisa jatuh ke bawah. Bapak rasa dengan cara itu kita bisa lolos..”
“Wah, bagus Pak, mari kita coba..” Akupun segera menggoyang goyangkan tubuhku. Namun beliau langsung menyela. “Begini mbak asih, karena Bapak tidak bisa bergerak dan terkunci di tiang ini. Jadi mbak Asih lah yang harus mengoyangkan tubuh, ke atas dan ke bawah, hingga nantinya talinya sedikit demi sedikit dapat turun ke bawah”.
“Hmm, baik Pak, akan saya lakukan.” Dengan daster yang pendek sampai di atas lutut itupun aku semakin mudah menjejakkan kakiku ke lantai dan kemudian melompat ke atas.

Setelah lumayan lama, “Hah, huh, hah, aku capek Pak”, ucapku pada Pak Mahfud yang dari tadi hanya diam dan memperhatikanku dengan tatapan aneh.
“Isstirahat dulu Mbak, sudah agak renggang rasanya sekarang. Tubuh Bapak sudah mulai bisa bergerak..” ucap beliau dengan sedikit kaget dengan ucapan mendadakku tadi.

Aku jadi sadar, dengan tubuh yang berkeringat seperti ini membuat dasterku menjadi agak basah dan memperlihatkan bagian tubuhku yang tercetak cukup jelas dari luar. Apalagi dengan belahan dada rendah dengan keadaan daster yang sudah acak-acakan karena gerakan melonjak-lonjakku, Pak Mahfud menjadi lebih leluasa mengintip payudaraku, putingku pun tercetak dengan jelas, tegas menantang.

Pantas, pikirku, Pak Mahfud dari tadi hanya diam tak berkata dan seringkali menelan air liur. Rupanya beliau memperhatikan payudaraku ini dari tadi, huuh sialan, batinku. Aku tebak dengan hawa dingin yang mulai menyerang dan situasi berdempetan seperti ini, Pak Mahfud pun mulai membayangkan yang tidak-tidak. Akupun mulai lagi menaik turunkan tubuhku, agar bisa cepat cepat keluar dari situasi yang kurang mengenakkan ini. Tiba-tiba aku berhenti, dan merasakan sesuatu yang mengganjal dengan keras mengenai pahaku,

“Pak, bapak terangsang ya? Kok keras sekali di bawah sana?” Tanyaku dengan sedikit menghardik beliau.. “Mmmaaf mbak Asih, mmaaf sekali, Bapak tak kuat melihat aktivitas mbak asih yang naik turun, hingga membuat dada mbak berguncang naik turun mengenai puting susu Bapak..”
“Tapi pak, sekarang kan kita sedang dalam saat yang tidak tepat, kita harus segera melapaskan tali ini Pak..” sanggahku.

Benar saja ketika aku lihat, tubuhku sekarang begitu berkeringat, dan basah pada bagian dada, menyebabkan payudaraku sangat jelas tercetak, dengan puting susu yang begitu tegang. Memberikan ruang lebih lebar bagi Pak Mahfud untuk mengintipnya dari belahan dadaku.
“Mohon maaf mbak, Bapak diluar kendali, Bapak rasa ini sifat alamiah bagi seorang laki-laki normal seperti Bapak, ya meskipun sekarang Bapak sudah cukup berumur..” penjelasan beliau yang kelihatan jujur dan masuk akal itupun meredakan rasa dongkolku. Aku kembali berpikir bahwa beliau tidak salah, akulah yang sebenarnya salah telah memancing birahinya dengan memakai pakaian seperti ini, tidak pakai BH dan celana dalam lagi.

“Huuffffttt,” aku menghembuskan nafasku dengan sesak.
“Baiklah pak, tidak apa-apa, maafkan tadi sudah membentak Bapak.”
“Tidak apa-apa kok Mbak Asih, Bapak juga minta maaf tidak bisa menahan diri.” Jawabnya dengan pandangan yang merunduk dan sesekali menoleh pada belahan dadaku yang sudah keringetan ini. Tak ada pilihan lain, akupun harus meneruskan gerakan naik turunku, agar tali sialan ini segera lepas. Ahirnya talinya kini sedikit kendor, dan mungkin tidak beberapa lama lagi akan bisa lepas, pikirku. Namun tiba-tiba..

Astaga, tanpa aku sadari ternyata celana kolor Pak Mahfud telah melorot turun dan teronggok ke lantai. Mungkin karena terkena gerakan naik turunku tadi sehingga membuat celana beliau menjadi melorot hingga terlepas. Dan sekarang Pak Mahfud telah telanjang bulat di depanku.

Sempat kupandangi beliau yang juga tidak bisa berkata apapun kecuali hanya merunduk malu. Kini aku dan Pak Mahfud hanya terdiam mengamati apa yang sedang terjadi. Daster bawahku bagian depanpun tersingkap karena tertopang oleh pangkal penis Pak Mahfud yang telah sangat menegang ke arah atas. Dan kini kurasakan, karena tidak memakai celana dalam, mulut vaginaku sekarang telah bersentuhan langsung dengan ujung penis Pak Mahfud yang sedikit menyeruak ke dalam.

“Pakk..” bisikku lirih.
“Mbak Asih, maafkan bapak, jangan laporkan ini pada Bapak mbak Asih ya, Bapak takut di pecat..” Ucapnya dengan khawatir..
“Bapak tidak sengaja dan tidak bermaksud melakukannya..” Tambahnya.
Aku pikir beliau juga telah sama-sama merasakan, bahwa gerakan naik turun yang telah aku lakukan ternyata membuat penisnya kini menyentuh bibir kemaluanku, dan dengan sekali sentak, kemungkinan besar akan membuatnya masuk lebih dalam lagi..

“Pak, asih juga minta maaf, ini semua tidak sengaja, dan Asih tidak mungkin lah melaporkan Bapak karena kejadian kecelakaan seperti ini”, hiburku kepada beliau.
“Pakkk......” ucapku setengah berbisik..

“Pak, mungkin nantinya anu bapak akan masuk ke anu Asih ketika Asih naik dan turun lagi. Dan anggap saja ini adalah hal yang tidak sengaja terjadi dan harus terjadi agar kita bisa membebaskan tali ini”. Aku ucapkan begitu kepada beliau agar aku terkesan tidak nyaman dengan keadaan ini. Padahal di dalam lubuk hati terdalam, aku sedikit menikmati kejadian ini terjadi. Apalagi dengan sikap lugu Pak Mahfud yang sedang kebingungan seperti saat ini. Tidak bisa dipungkiri, penis Pak Mahfud yang terasa keras, besar, dan berotot dibawah sana telah membuat separuh akal sehatku tak berfungsi. Sejatinya aku juga mengharapkan persetubuhan yang akan terjadi ini, apalagi setelah 2 tahun aku tak merasakan kehangatan lelaki.

Aku teruskan menaik dan menurunkan tubuhku, ibarat orang yang sengang loncat-loncat. Dan benar saja, perlahan tapi pasti penis Pak Mahfud mulai menerobos liang kewanitaanku. Akupun menjerit kecil dan tanpa sadar mendesah setiap bergerak naik kemudian turun Penisnya yang kokoh itu keluar masuk vaginaku.
“Ahhh, ughhhh, aahhhh, ugghhhhhhhhh....”
Dan setiap kali, semakin dalam saja kurasakan.

“Pak, enak Pakk..” Tanpa sadar aku berkata demikian, mendesah dan menjerit dengan cukup keras..
Tak kuhiraukan lagi apa yang kini sedang dipikirkan oleh Pak Mahfud, keinginanku untuk memenuhi kebutuhan birahiku menjadi semakin kuat..

Kini, hampir sepenuhnya batang Pak Mahfud memasuki vaginaku. Akal sehatku telah sepenuhnya hilang, berganti dengan nafsu yang menggebu yang menuntut untuk di puaskan. Beliau hanya bengong melihat ekspresiku yang berubah, dari tadi yang sopan kini menjadi wanita binal yang haus kehangatan. Liang vaginaku kini telah sangat basah terkena cairan precum Pak Mahfud dan cairan vaginaku sendiri. Rasa perih yang tadi sempat terasakan, berganti menjadi rasa nikmat tak terkira, selangkanganku terasa penuh sesak. Kini rasa capek karena terus melonjak-lonjakkan tubuhku terbayarkan dengan nikmat yang tak terkira. Pak Mahfud pun kini mulai larut dalam deru nafsu dua anak manusia yang sama-sama rindu kehangatan. Beliau yang semula diam terheran heran, tiba-tiba menjamah bibirku dan mengulumnya dengan rakus. Dijilatinya bibirku yang ranum, lidah kami beradu, mulut kami bercumbu dengan hangat dan begitu bergairah. Kumisnya yang tebal kadangkala masuk ke mulutku dan menerobos hidungku.. Akupun mulai lagi meloncat, menaik turunkan tubuhku dengan penuh semangat, sambil memacu penis Pak Mahfud yang mulai terbenam sepenuhnya. Semakin lama kurasakan penis Beliau begitu leluasa keluar masuk vaginaku. Beliau yang sedari tadi hanya mendesah pelan, kini mulai berani mendesah-desah dengan cukup keras..

“Arrrghhhhh”, terus Mbak Asih. Ceracaunya.

Tanpa aku sadari tali itu sudah sangat longgar, dan bisa aku lepaskan, dan akhirnya terlepas juga.. Kini tali itu telah luruh ke lantai, jadilah aku sekarang diam menikmati apa yang telah terjadi tadi. Dengan Penis Pak Mahfud yang sepenuhnya terbenam di vaginaku.

Dengan nafsu yang sepenuhnya menggebu, akupun dengan tidak rela melepaskan penis beliau dari vaginaku. Dengan tergesa aku mengambil pisau yang terletak di meja makan yang tidak jauh dari tempat kami di ikat tadi, agar aku bisa segera melepaskan ikatan tanganku dan melepaskan pak Mahfud dari ikatannya.

Dengan susah payah, ikatan tangankupun terlepas. Kini, aku telah membawa pisau yang akan aku gunakan untuk memotong ikatan tali pada tangan Pak Mahfud. Beliau kini hanya memandangku penuh harap..

“Ahhh, syukurlaah, cepat Mbak Asiihh, tolong bukakan ikatan Bapak.. Bapak sudah sangattt capeek terikat seperti ini...”Ucapnya dengan tergesa.

Sempat aku pandangi, betapa menggairahkannya pak tua ini. Dengan kumis tebalnya yang sedikit berkeringat, kempang-kempis seirama dengan nafasnya yang terpacu karena persetubuhan yang sempat terjadi tadi.

Tanpa basa-basi, pisau yang tadi kubawa kujatuhkan di dekat Beliau. Aku peluk segera tubuhnya yang kekar berotot itu. Tubuhnya menjadi berkilap karena basah oleh keringat dan terpaan sinar lampu, bulu dadanya menjadi lebih indah karena basah oleh keringat. Penisnya tampak tetap tegang menantang setelah persetubuhan tadi..

Aku peluk leher beliau, sambil kakiku berusaha sedikit berjinjit, mengarahkan penisnya untuk memasuki liang vaginaku lagi. Aku mencoba naik, mengalungkan dan menguncikan kakiku pada pinggang beliau, seperti seorang cucu yang sedang minta gendong pada kakeknya. Tak bisa kutahankan, nafsuku yang sempat tertahan tadi harus terpuaskan. Kini akal sehatku hilang, aku memaksakan persetubuhan dengan Tukang Kebunku, Pak Mahfud ini.

Beliau hanya terbengong melihat tingkah polahku. Bibirnya yang sedikit menganga itupun aku caplok dengan ganasnya. Aku nikmati percumbuan dengan kumis tebalnya itu, aku masukkan lidahku, mencari-cari lidah beliau. Mulanya beliau hanya diam tak merespon. Namun, kini lidahnya juga merespon menyedoti dan berpilin dengan lidah dan bibirku.

Kurasakan begitu dalam penis itu masuk ke dalam vaginaku, hingga mentok ke dalam rahimku. Aku hanya berbisik pelan,
“Maafkan Asih pak, Asih sudah tak tahan, Tolong puassskannn Asih... arrgggg.” Penisnya begitu terasa penuh dan sesak..

“Baiklah Mbak Asiiihhhh, jika itu yang kau mauuu.” Jawabnya dengan setengah tak percaya..

Jadilah kami sekarang bersenggama dengan posisi berdiri dengan Pak Mahfud yang tangannya masih terikat ke tiang rumah. Beliau mulai menggenjotku dari bawah dengan sebisanya, panjatnya naik turun seirama dengan genjotanku yang  mulai giat. Walaupun capek kurasakan karena harus menahan beratbadanku dengan menggendongkan diri di tubuh Pak Mahfud, namun nikmat yang kurasakan begitu besar. Dengan posisi seperti ini penis Pak Mahfud terasa mentok menyodok-nyodok rahimku.

“Arrgggggggggh, Pakkkk, Aku mau keluuaaaaaarrrrrrrr.” Ceracauku

Akhirnya akupun orgasme dengan hebatnya, tubuhku tersentak sentak, membuatku sempat hampir jatuh ke lantai. Punggunggku melengkung ke belakang dan ke depan, memeluk leher pak Mahfud dengan lebih erat.. Akhirnya redalah gelombang orgasmeku. Saking banyaknya, cairan cintaku menetes-netes hingga menyebabkan genangan kecil di lantai. sebelum turun, aku sempat mencium kembali bibir beliau sambil berterimakasih kepadanya..

Kini, dengan sisa-sisa tenaga, akupun mengambil pisau yang tadi kujatuhkan. Aku lepaskan ikatan beliau. Setelah itu beliau langsung bangkit meregangkan otot-ototnya yang kelu dan capek karena sempat terikat. Senyumnya mengembang, tergambar dari kumis tebalnya yang merekah itu. Tanpa kusadari tiba-tiba beliau memeluk kepalaku, mengarahkan mulutnya untuk mencumbu mulutku, kami kembali berciuman dengan ganasnya, tanpa melepaskan penisnya di vaginaku. Di lolosinya dasterku yang sudah basah oleh keringat. Oleh keringat usaha melepaskan tali tadi, juga keringat persetubuhanku yang sempat terjadi dengan Pak Mahfud.

Sekarang kami sama-sama telanjang bulat. Dengan cepat beliau segera mengenyoti buah dadaku yang ranum. Payudaraku yang kiri di jilati dan di kulumnya dengan rakus, sambil tangan yang satunya meremas dengan gemas payudaraku yang kanan. Mulutnya dengan sekuat tenaga menyedoti putingku, hingga membuatnya berwarna kemerahan. Kadang aku terlonjak, karena dengan sengaja beliau menggigiti putingku yang tegak dan berwarna kemerahan itu dengan gemas. Kadang ditariknya dengan kuat putingku dengan giginya, memberikan sensasi luar biasa. Apalagi kumisnya yang tebal itu begitu menggelitik payudaraku.

“Ahhhh, uhh, ahhh, enak  Pakkk. Geliiiiii....” ceracauku.

Setelah puas menyusu pada payudara kanan dan payudara kiriku, beliau membopongku menuju karpet di depan TV yang terletak tidak jauh dari tempat kami berdiri. Sambil menggendongku, mulutnya tak menyia-nyiakan untuk menyusu lagi pada payudaraku. Direbahkannya tubuhku, beliau kini berlutut disamping perut rataku. Langsung, ditangkupnya dua buah payudaraku yang montok, diremasinya dengan penuh semangat. Di putarinya, hingga menemukan puting susu kemerahan yang tegak menantang. Kemudian, di cubitnya putingku, dipilin, kemudian ditarik-tariknya dengan semangat. Kini payudaraku ibarat mainan bagi Pak Mahfud, cukup lama beliau berman di situ. Telah banyak bekas merah disana, bekas tarikan dan remasan beliau.

Aku tak tinggal diam, ku temukan batang kemaluan yang sempat mendiami penisku tadi. Aku kocok, aku tarik-tarik dan kupermainkan lubang kencing dan kepalanya yang besar kemerahan seperti helm itu. Beliau mendesah, meracau tak karuan dengan ulahku. Aku kaget, tiba-tiba kini mulutnya mencaplok payudaraku yang kiri. Di caploknya sekuat tenaga, bagaikan akan dimakan bulat-bulat ke dalam mulutnya itu. Kumisnya yang tebal menimbulkan sensasi tersendiri ketika menggesek putingku. Kini beliau sedang menyusu di puting susuku dengan rakus, di sedotnya kencang-kencang, yang kadang menimbulkan rasa panas dan nikmat. Setelah puas yang kiri, kini Pak Mahfud berpindah ke yang sebelah kanan. Sambil tangannya yang satunya membelai dan menusuk kemaluanku yang sudah basah itu. Rangsangannya begitu hebat, hingga aku tak tahan lagi.

“Pakkk, ohhh, aku keluaaaaaaaarrrrr Pak.. Ampuunnn...” Disertai jeritanku yang tak tertahan.

Aku harus balas dendam, gerutuku dalam hati. Sekuat tenaga, setelah orgasme, akupun bangkit dan mendorong tubuh beliau hingga jatuh terbaring. Segera ku gapai tongkat kejantanan yang telah memuaskanku tadi. Aku kulum penisnya dengan rakus. Aku kocok sekuat tenaga. Aku sedoti penisnya dengan sekuatku, aku juga mempermainkan kepalanya yang seperti jamur itu dengan semangat, kadang kutarik kepala penisnya. Hingga membuat si empunya mendesah tak tertahan.

“Arrrrrrrrrghhhhhh, enak sekali sayangkuuuuu... Terussss, emuti kontolll Bapak iniiiii..”
Kata-katanya itu semakin membuatku bersemangat. Hingga tak lama kemudiannnn.

“Ahhh, uhhhh, Bapak mau keluarrrrrrrrrr. Ahhhh.” Ceracaunya
Kurasakan penisnya mulai berkedut dengan keras, bokongnya naik turun, membuat penisnya menyodok-nyodok tenggorokanku. Tubuh kekarnya melengking nikmat tak karuann..

“Ahhhhhhhhhhh,” lenguhnya...
Akhirnya mani Pak Mahfud muncrat dengan kuatnya, segera tak kubiarkan tumpah sedikitpun, kutelan sebisaku. Meskipun sebagian juga tumbah, meluber keluar dari mulutku...

Kini, tubuh beliau kelihatan lemas. Akupun segera mengambil tisu untuk membersihkan sperma yang belepotan di pipi ku. Tak lupa kubersihkan pula penis Pak Mahfud dan Vaginaku. Aku juga mengambilkan air putih untuk beliau yang nampak lelah.

“Ini Pakk, minummm dulu.” Sambil memberikan segelas penuh air putih kepada beliau.
“Auuuuhhhh.” Aku kaget ketika beliau menarik puting susuku dengan gemas setelah menghabiskan minumnya.

“Bapak gemesss sekali dengan Mbak Asihhh. Nakal ya..” Ucapnya, mungkin karena ulahku yang telah membuatnya orgasme tadi. Sempat aku melihat ke selangkangan beliau, ternyata penisnya telah kembali tegak menantang.. Hebat sekali Pak Mahfud, bathinku. Tanpa menunggu lama, kembali beliau memagut ku, mengulum dengan gemas bibirku dengan bibirnya yang berkumis tebal itu. Hingga merembet ke dada yang selangkanganku.

“Ahhhh, terusssssss Pakkkkk.” Aku hanya bisa melenguh kenikmatan merasakan ulah beliau.
Akhirnya kini Beliau memposisikan tubuhnya diselangkanganku, dengan bertumpu pada lututnya diarahkannya penisnya ke vaginaku, sambil kakiku dibentangkan ke samping dan ditekuk. Kini aku bisa leluasa melihat penis yang selama ini aku bayangkan itu memasuki tubuhku. Penisnya begitu tebal, dengan urat-uratnya begitu menonjol, menambah keindahan dan kekokohannya. Kepala penisnya lebih besar dari batangnya, berwarna kemerahan, dan sangat bagus, bentuknya seperti helm. Akupun kini berdebar merasakan vaginaku mulai ditekan dan dimasukinya dengan perlahan.

“Ahhhh,” jeritku tiba-tiba. Beliau secara yang semula perlahan memasuki liang vaginaku, tiba-tiba memasukkan penisnya dengan cepat hingga amblaslah semua tertelan vaginaku..

“Akhhhh memekmu sempit sekali mbak Asih, enakkkkk bangettt”, ceracaunya.
“Ayo Pak di genjot”, aku meracau tak karuan.
“Setubuhi aku Pak, cepat”.
Beliaupun segera mempercepat sodokannya, disertai bunyi keciplok yang cukup keras, aku hanya bisa mendesah tak karuan, sambil menoleh ke kanan dan kekiri, tak mapu menahan kenikmatan yang tiada tara ini. Kini beliau sudah ambruk di atasku. Sambil bertumpu pada tangannya, Pak Mahfud memacu penisnya lebih cepat..

“Ahhh aku semakin tak tahan”, bathinku. Keringat beliau yang cukup banyak menetes melalui dagu, dan dadanya yang berbulu lebat dan menggairahkan itu. Tangankupun segera bergerilnya, merabai, dan meremas-remas dada Pak Mahfud yang kekar dan berbulu itu. Sambil sesekali tanganku bermain dengan puting susunya, memilin dan menariknya dengan kuat, hingga membuat Pak Mahfud mengerang.

“Paaakk, akuu mau keluaaaaaarr lagi, desahku tak tertahankan”.
“Tunggguu sayangku,  Bareng-bareng bapak sekaliaaann”.
“Croot Croot croot,”

Akhirnya beliau menumpahkan spermanya yang begitu melimpah ke dalam vaginaku, bersamaan dengan orgasme keduaku malam itu. Sambil menunggu orgasmenya tuntas, Pak Mahfud masih sangat semangat mengenyoti payudaraku yang montok. Sambil mulutnya terus menyusu dan menyedot dengan kuat puting susuku yang berwarna semakin merah karena dari tadi menjadi sasaran Pak Mahfud. Akhirnya beliau rebah disampingku setelah orgasme hebat yang melanda tadi. Hingga kurasakan cairan cintaku dan Pak Mahfud merembes, dan mengalir ke anusku.
Diam-diam aku kagum juga dengan stamina dan tubuh Pak Mahfud ini, sudah kepala lima tapi masih sangat kuat, dan tubuhnya yang berbulu itu begitu menggairahkan, apalagi ketika mengkilap basah oleh keringat. Kulihat juga, batang kejantanan yang telah memuaskanku, sekarang telah lemas, mengkilap oleh cairan cinta kami berdua. Segera aku peluk Pak Mahfud yang sudah terkulai lemas di sampingku, aku ciumi bibir dan kumis tebalnya, beliau hanya merespon sejenak, mungkin capek pikirku. Sekarang aku berpindah ke dadanya. Bermain-main di dadanya yang berbulu itu, menyusu pada pentil nya yang tegak menantang, dan meremasi dan membelai bulu dadanya yang membelukar indah. Beliau hanya melnguh kuperlakukan seperti itu..

“Oh, Pak Mahfuddd, aku ketagihaaannnn !”

(TAMAT)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar